DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM PADA KONDISI MASYARAKAT KECIL DI INDONESIA
MAKALAH PEREKONOMIAN INDONESIA
TULISAN 2
DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM PADA KONDISI MASYARAKAT KECIL DI
INDONESIA
KELOMPOK II
NAMA ANGGOTA :
Annisa Silva Ulum 20211976
Cindy Cinthya M.S 29211134
Nursella S. 25211377
Theresia Natalia 27211083
NAMA ANGGOTA :
Annisa Silva Ulum 20211976
Cindy Cinthya M.S 29211134
Nursella S. 25211377
Theresia Natalia 27211083
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Masalah
Gejolak harga minyak dunia sebenarnya sudah mulai
terlihat sejak tahun 2000. Tiga tahun berikutnya harga terus naik seiring
dengan menurunnya kapasitas cadangan. Ada sejumlah faktor penyebab terjadinya
gejolak ini, salah satunya adalah persepsi terhadap rendahnya kapasitas
cadangan harga minyak yang ada saat ini, yang kedua adalah naiknya permintaan
(demand) dan di sisi lain terdapat kekhawatiran atas ketidakmampuan
negara-negara produsen untuk meningkatkan produksi, sedangkan masalah tingkat
utilisasi kilang di beberapa negara dan menurunnya persediaan bensin di Amerika
Serikat juga turut berpengaruh terhadap posisi harga minyak yang terus
meninggi.
Hal ini kemudian direspon oleh pemerintah di beberapa
negara di dunia dengan menaikkan harga BBM. Demikian juga dengan Indonesia, DPR
akhirnya menyetujui rencana pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak
pada hari Selasa 27 September 2005 sebesar minimal 50%. Kebijakan kenaikan
harga BBM dengan angka yang menakjubkan ini tentu saja menimbulkan dampak yang
signifikan terhadap perekonomian sehingga kebijakan ini menimbulkan banyak
protes dari berbagai kalangan. Keputusan pemerintah menaikkan harga bensin, solar,
dan minyak tanah sejak 1 Oktober 2005 akibat kenaikan harga minyak mentah dunia
hingga lebih dari 60 Dolar AS per barel dan terbatasnya keuangan pemerintah ini
direspon oleh pasar dengan naiknya harga barang kebutuhan masyarakat yang lain.
Biaya produksi menjadi tinggi, harga barang kebutuhan masyarakat semakin mahal
sehingga daya beli masyarakat semakin menurun. Secara makro cadangan devisa
negara banyak dihabiskan oleh Pertamina untuk mengimpor minyak mentah.
Tingginya permintaan valas Pertamina ini, juga menjadi salah satu penyebab
terdepresinya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
Terjadinya hubungan timbal balik antara naiknya biaya
produksi dan turunnya daya beli masyarakat berarti memperlemah perputaran roda
ekonomi secara keseluruhan di Indonesia. Kondisi ini dapat mempengaruhi iklim
investasi secara keseluruhan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Dalam jangka pendek naiknya harga BBM tersebut disikapi oleh pelaku pasar,
khususnya pelaku pasar modal sebagai pusat perputaran dan indikator investasi.
Kontroversi kenaikan harga minyak ini bermula dari tujuan
pemerintah untuk menyeimbangkan biaya ekonomi dari BBM dengan perekonomian
global. Meskipun perekonomian Indonesia masih terseok mengikuti perkembangan
perekonomian dunia, akhirnya kebijakan kenaikan BBM tetap dilaksanakan mulai
tanggal 1 Oktober 2005. Akibatnya, perilaku investasi di Indonesia sangat
memungkinkan mengalami perubahan. Setiap peristiwa berskala nasional apalagi
yang terkait langsung dengan permasalahan ekonomi dan bisnis menimbulkan reaksi
para pelaku pasar modal yang dapat berupa respon positif atau respon negatif
tergantung pada apakah peristiwa tersebut memberikan stimulus positif atau
negatif terhadap iklim investasi. Berdasarkan pada argumentasi di atas, maka
dimungkinkan akan terjadi reaksi negatif para pelaku pasar modal setelah
pengumuman tersebut. Tetapi jika yang terjadi sebaliknya bahwa kenaikan harga
BBM ini direaksi positif oleh pelaku pasar, maka kesimpulan sederhana dari
dampak peristiwa pengumuman tersebut adalah bahwa naiknya harga BBM memberikan
stimulus positif pada perekonomian Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis ingin mengulas
lebih dalam lagi dengan makalah yang berjudul, “Dampak Kenaikan Harga BBM
Terhadap Masyarakat Kecil”.
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan
masalahnya adalah sebagai berikut :
1.
Apakah terdapat
perbedaan yang signifikan antara kondisi masyarakat kecil di Indonesia sebelum
dan sesudah peristiwa kenaikan harga BBM ?
2.
Bagaimana
menanggulangi dampak kenaikan harga BBM pada kondisi masyarakat kecil di
Indonesia ?
3.
Tujuan dan
Manfaat
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dan
manfaat penulisan adalah sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui
apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara kondisi masyarakat kecil di
Indonesia sebelum dan sesudah peristiwa kenaikan harga BBM.
2.
Untuk mengetahui
bagaimana menanggulangi dampak kenaikan harga BBM pada kondisi masyarakat kecil
di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Kenaikan BBM
Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan komoditas yang
memegang peranan sangat vital dalam semua aktifitas ekonomi. Dampak langsung
perubahan harga minyak ini adalah perubahan-perubahan biaya operasional yang
mengakibatkan tingkat keuntungan kegiatan investasi langsung terkoreksi. Secara
sederhana tujuan investasi adalah untuk maksimisasi kemakmuran melalui
maksimisasi keuntungan, dan investor selalu berusaha mananamkan dana pada
investasi portofolio yang efisien dan relatif aman.
Kenaikan harga BBM bukan saja memperbesar beban
masyarakat kecil pada umumnya tetapi juga bagi dunia usaha pada khususnya. Hal
ini dikarenakan terjadi kenaikan pada pos-pos biaya produksi sehingga
meningkatkan biaya secara keseluruhan dan mengakibatkan kenaikan harga pokok
produksi yang akhirnya akan menaikkan harga jual produk. Multiple efek dari
kenaikan BBM ini antara lain meningkatkan biaya overhead pabrik karena naiknya
biaya bahan baku, ongkos angkut ditambah pula tuntutan dari karyawan untuk
menaikkan upah yang pada akhirnya keuntungan perusahaan menjadi semakin kecil.
Di lain pihak dengan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak tersebut akan
memperberat beban hidup masyarakat yang pada akhirnya akan menurunkan daya beli
masyarakat secara keseluruhan. Turunnya daya beli masyarakat mengakibatkan
tidak terserapnya semua hasil produksi banyak perusahaan sehingga secara
keseluruhan akan menurunkan penjualan yang pada akhirnya juga akan menurunkan
laba perusahaan.
B. Politik Harga BBM
Pada masa Kepemimpinan
Susilo Bambang Yudhoyono, telah terjadi dua kali pencabutan subsidi BBM. Yang
pertama adalah tanggal 1 Maret 2006 dan yang kedua dilakukan pada 1 Oktober
2006. Kebijakan pencabutan Subsidi BBM ini sebenarnya merupakan kebijakan yng
bersifat inkramental. Sudah dilakukan sejak tahun 1998, dalam rangka
memperbaiki kinerja anggaran, efisiensi dan menyesuaikan dengan harga minyak
dunia, pencabutan subsidi BBM dilakukan.
Dalam hal ini
Pembangunan Pemerintah memakai strategi efficiency oriented policies of market
competition, yaitu strategi yang menekankan pada pentingnya efisiensi, pro
pasar bebas, pro globalisasi, dan peran negara yang kecil. Tunduk pada kekuatan
pasar energi global yang memiliki kecenderungan harga yang terus meningkat. Hal
ini menjadi berbeda dengan orientasi pembangunan yang dinyatakan oleh Pemeritah
SBY-JK pada masa kampanyenya yang pro poor atau menurut Susan Stoke security
oriented policies of state intervention, dimana pemerintah seharusnya melakukan
proteksi harga untuk kepentingan nasional.
Saat pencabutan BBM
terjadi, pemerintah dihadapkan pada situasi krisis anggaran di satu sisi dan di
sisi lain naiknya harga minyak dunia. Sehingga benar apa yang dinyatakan oleh
Meriless S. Gridle dan John W. Thomas, Dalam situasi krisis, persoalan
kerapkali berasal dari luar pengambil kebijakan (nasional dan internasional),
dalam sistuasi nasional dihadapkan pada keterbatasan anggaran, serta prioritas
pemerintah untuk program pengentasan kemiskinan dan program pembangunan lain .
Sedang persoalan internasional terkait dengan harga pasar energi global yang
naik dan memiliki kecendrungan untuk tetap naik serta terikatnya dengan LOI IMF
sebagai negara yang menggunakan utang luar negeri untuk pembangunan negara.
Salah satu butir perjanjian mengharuskan pemerintah untuk melakukan penyesuaian
harga minyak nasional dengan harga minyak dunia
Kebijakan Pencabutan
Subsidi BBM era Yudhoyono menjadi fenomenal karena baru pertama kalinya sebuah
kebijakan didukung oleh sejumlah intelektual, profesional, dan aktivis serta
mengiklankannya pada media cetak satu halaman penuh. Hal ini juga menjadi baru
ketika pemerintah mengaitkan langsung penarikan subsidi BBM dengan program
pengentasan kemiskinan secara terang-terangan. Iklan yang dibuat oleh Freedom
Institute atas penelitian yang dilakukan oleh LPEM-FEUI bahwa subsidi BBM lebih
menguntungkan mereka yang relatif mampu, dan yang paling miskin justru kurang
menikamatinya sehingga dengan pencabutan subsidi dapat meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Pemerintah dalam hal ini, sejalan dengan kebijakan
penghapusan subsidi, karena pemerintah melihat bahwa selama ini hanya
menguntungkan mereka yang relatif kaya daripada kaum miskin.
Pemerintah membuat
kebijakan dengan melakukan subsidi terarah, yang salah satunya adalah BLT
(Bantuan Langsung Tunai) untukjangka pendek, P3 (Program Pengembangan
Prasarana) untuk jangka menengah, dan PAP (Peningkatan Anggaran Pemerintah)
untuk pembangunan ekonomi jangka panjang.
Dengan skenario ini Pemerintah mengaitkan pencabutan subsidi BBM dalam rangka pengentasan kemiskinan. Sehingga kondisi ini adalah kondisi yang paling optimal untuk pendapatan kaum miskin menurut perhitungan yang juga dinyatakan oleh Kepala Bappenas Sri Mulyani dan disertasi Djoko Harianto. Perlu diakui argumen yang dilakukan pemerintah dengan perhitungan ekonomi ini sangat logis (masuk akal) . Dalam kenyataannya, kebijakan ini menimbulkann polemik di masyarakat dan kaum intelektual. Sebagian kalangan seperti Ekonom TIB (Tim Indonesia Bangkit), Ahli pertambangan dari Pertamina Kurtubi, Effendi Gazali, hingga Prof. Sri Edi menentang kebijakan kenaikan BBM yang dilakukan Pemerintah. Kebijakan ini dinilai oleh mereka justru menciptakan kemiskinan baru. Kenaikan harga BBM secara psikologis membawa dampak kenaikan pada barang-barang dan jasa akibatnya daya beli masyarakat menjadi rendah, serta menciptakan pengangguran baru.
Dengan skenario ini Pemerintah mengaitkan pencabutan subsidi BBM dalam rangka pengentasan kemiskinan. Sehingga kondisi ini adalah kondisi yang paling optimal untuk pendapatan kaum miskin menurut perhitungan yang juga dinyatakan oleh Kepala Bappenas Sri Mulyani dan disertasi Djoko Harianto. Perlu diakui argumen yang dilakukan pemerintah dengan perhitungan ekonomi ini sangat logis (masuk akal) . Dalam kenyataannya, kebijakan ini menimbulkann polemik di masyarakat dan kaum intelektual. Sebagian kalangan seperti Ekonom TIB (Tim Indonesia Bangkit), Ahli pertambangan dari Pertamina Kurtubi, Effendi Gazali, hingga Prof. Sri Edi menentang kebijakan kenaikan BBM yang dilakukan Pemerintah. Kebijakan ini dinilai oleh mereka justru menciptakan kemiskinan baru. Kenaikan harga BBM secara psikologis membawa dampak kenaikan pada barang-barang dan jasa akibatnya daya beli masyarakat menjadi rendah, serta menciptakan pengangguran baru.
Dari sini banyak
relawan yang bisa dilihat adalah kebijakan pemerintah yang hanya berdasarkan
perhitungan ekonomi secara teoritis tanpa memperhitungkan dampak psikologi
masyarakat serta daya tahan masyarakat akan membawa akibat kebijakan ini tidak
membawa kesejahteraan masyarakat melainkan menimbulkan dampak yang negatif
yakni meningkatnya jumlah kemiskinan di masyarakat. Target pemerintah untuk
menciptakan kesejahteraan dengan kebijakan ini tidak tercapai. Efisiensi yang
terjadi tidak signifikan, bahkan ketersediaan bahan bakar terutama minyak tanah
pada bulan Desember tidak tercukupi. Kini minyak tanah langka lagi dan rakyat
kecil harus membeli dengan harga yang lebih tinggi dari apa yang ditetapkan.
3.
Kenaikan BBM
Menyebabkan Inflasi
Dengan mengacu pada inflasi kumulatif Januari-September
2005 sebesar 9,1 persen, inflasi bulan Oktober sebesar 8,7 persen tentu saja
tergolong luar biasa sehingga membuat inflasi kumulatif Januari-Oktober menjadi
15,6 persen. Inflasi Oktober berdasarkan perhitungan "tahun ke tahun"
(year on year) lebih tinggi lagi, yakni 17,9 persen. Berdasarkan angka-angka
itu, laju inflasi tahun 2005 diperkirakan berkisar 16-18 persen atau titik
tengahnya adalah 17 persen.
Di awal kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), seorang
menteri ekonomi menegaskan bisa menahan di sekitar 10 persen. Lalu beberapa
hari kemudian dikoreksi menjadi kira-kira 12 persen, selanjutnya kembali
dikoreksi menjadi 14 persen. Kali ini dan untuk ke sekian kalinya pemerintah
salah langkah. Hitung-hitungan pemerintah jelas keliru dan menyederhanakan
masalah.
Memang disadari bahwa besarnya disparitas harga BBM di
dalam dan luar negeri menimbulkan banyak masalah. Namun, sangat tidak realistis
untuk menyelesaikan semua masalah itu sekaligus dengan hanya menggunakan satu
jurus pamungkas, yakni kenaikan harga BBM sebesar 114 persen berdasarkan
rata-rata tertimbang.
Padahal, kaidah Tinbergen (Tinbergen's rule) mengatakan
bahwa satu instrumen kebijakan hanya bisa secara efektif menyelesaikan satu
masalah saja. Memang pemerintah menggulirkan beberapa obat penawar rasa sakit
dalam bentuk paket insentif bagi dunia usaha yang meliputi paket fiskal,
reformasi di bidang tata niaga dan transportasi, serta kebijakan di bidang
perberasan.
Pemerintah juga mengucurkan dana bantuan langsung tunai
(BLT) bagi setiap keluarga miskin sebesar Rp 100.000 per bulan yang dibayarkan
di muka sekaligus untuk tiga bulan. Dengan BLT ini bahkan pemerintah sangat
yakin bisa menekan jumlah orang miskin—sungguh suatu perhitungan yang teramat
matematik—statik yang seolah-olah menempatkan 220 juta penduduk Indonesia
bagaikan mesin tanpa jiwa dan emosi di dalam laboratorium yang terisolasi.
Dengan mempertimbangkan bahwa paket insentif dan BLT
sangat terbatas cakupannya dan mengingat pula belum semua terwujud, serta
masalah-masalah baru yang muncul sehingga diragukan efektivitasnya, maka
tohokan kenaikan harga BBM berpotensi menambah dan memperpanjang penderitaan
rakyat. Tanda-tanda ke arah sana sudah semakin nyata.
Berdasarkan perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS),
kenaikan harga BBM pada 1 Oktober lalu berdampak seketika terhadap peningkatan
pengangguran terbuka sebanyak 426.000 pekerja. Jajaran penganggur ini niscaya
akan terus bertambah panjang dalam setahun ke depan karena gelombang PHK akan
terus berlanjut setelah Lebaran dan Tahun Baru nanti.
Tak seperti krisis tahun 1998 yang membuat banyak
perusahaan besar—terutama yang banyak berutang dalam mata uang asing, memiliki
kandungan impor yang besar, dan berorientasi pada pasar dalam negeri—terempas,
sementara usaha kecil dan menengah (UKM) dan atau sektor informal justru mampu
bertahan, dampak kenaikan harga BBM kali ini lebih berat dirasakan oleh UKM dan
bersifat seketika. Padahal, UKM inilah yang menjadi penyerap tenaga kerja
terbesar.
Usaha berskala menengah-besar diperkirakan mulai
mengalami tekanan serius pada tahap selanjutnya. Salah satu penyebab utamanya
ialah kenaikan tajam suku bunga pinjaman. Hal ini merupakan konsekuensi logis
dari keniscayaan Bank Indonesia untuk terus-menerus meredam instabilitas
makro-ekonomi. Pada hari yang bersamaan dengan pengumuman angka inflasi oleh
BPS, Bank Indonesia menaikkan BI Rate sebesar 125 basis poin menjadi 12,25
persen. Inilah kenaikan BI Rate tertinggi sejak diperkenalkan untuk pertama
kalinya pada 5 Juli tahun ini.
Karena negeri kita tergolong sebagai small open-economy
yang menerapkan rezim devisa bebas, sehingga membawa konsekuensi untuk menjaga
interest rate differential dengan luar negeri, maka hampir bisa dipastikan
bahwa Bank Indonesia akan terus menaikkan BI Rate.
Jika ekspektasi masyarakat terhadap inflasi
"manteng" pada angka 17 persen, maka suku bunga Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) bertenor satu bulan hingga Desember akan bergerak cepat ke
tingkat 15 persen. Jika pada angka ini posisi rupiah terus mengalami tekanan
"berat", maka boleh jadi suku bunga SBI akan terus dinaikkan.
Berdasarkan pengalaman dua tahun terakhir saja, serta dengan mengambil selisih
rata-rata suku bunga SBI bertenor satu bulan dan angka inflasi yang amat
konservatif sebesar 1-1,5 persen, maka suku bunga SBI berpotensi terus naik
mendekati 20 persen.
Kenaikan suku bunga bisa diredam asalkan pergerakan nilai
tukar rupiah agak dibiarkan fleksibel. Karena, kiranya amat sulit mencapai
target suku bunga rendah dan rupiah kuat bersamaan. Pilihan pahit ini harus
dipilih mau yang paling sedikit biayanya bagi perekonomian atau yang mana.
Bagaimana jika kurs yang dibiarkan mengambang akan
mengarah pada destabilizing speculation? Pilihan ekstrem kalau memang suku
bunga tinggi lebih memukul perekonomian ialah mem-peg nilai rupiah. Sekalipun
opsi ini sangat ditentang oleh penganut aliran ekonomi mainstream, tak ada
salahnya untuk mulai menghitung-hitung untung-rugi dan prakondisi yang harus
terpenuhi. Paling tidak pemberlakuannya bersifat darurat dan sangat sementara.
Tantangan jangka pendek ini harus dihadapi dengan sangat
hati-hati. Segala tindakan pemerintah harus betul-betul terukur. Kesalahan
kecil saja bisa berakibat fatal. Secara teknis, kenaikan harga BBM tak mungkin
lagi dikoreksi karena dampak terhadap kenaikan harga-harga boleh dikatakan
sudah terjadi penuh.
Akibat kenaikan harga BBM yang tak kepalang, pekerjaan
rumah pemerintah bukannya berkurang, malahan bertambah banyak dan lebih pelik
serta lebih berisiko. Investor asing dan lembaga-lembaga internasional memuji
langkah berani pemerintah. Para kreditor mengamini karena terang saja mereka
merasa lebih nyaman jika APBN lebih banyak dialokasikan untuk pembayaran bunga
dan cicilan utang. Jadi, apa bedanya antara memberi subsidi kepada rakyat dan
membayar suku bunga lebih tinggi kepada kreditor asing?
Kita berharap pemerintah lebih peka pada derita rakyatnya
sendiri. Kepentingan nasional harus di atas segala-galanya. Kita harus
berdaulat secara politik dan ekonomi. Keadilan harus jadi acuannya. Banyak pilihan
kebijakan yang masih tersedia untuk mewujudkannya asalkan kita mau mengubah
pola pikir kita yang selama ini terlalu dibelenggu oleh setting perekonomian
negara maju yang kelembagaannya sudah sedemikian sangat lengkap, dan tidak
korup.
4.
Dampak Kenaikan
BBM Pada Masyarakat Kecil
Walaupun dampak kenaikan harga BBM tersebut sulit
dihitung dalam gerakan kenaikan inflasi, tetapi dapat dirasakan dampak
psikologisnya yang relatif kuat. Dampak ini dapat menimbulkan suatu ekspektasi
inflasi dari masyarakat yang dapat mempengaruhi kenaikan harga berbagai jenis
barang/jasa. Ekspektasi inflasi ini muncul karena pelaku pasar terutama
pedagang eceran ikut terpengaruh dengan kenaikan harga BBM dengan cara
menaikkan harga barang-barang dagangannya. Dan biasanya kenaikan harga
barang-barang kebutuhan pokok masyarakat terjadi ketika isu kenaikan harga BBM
mulai terdengar.
Perilaku kenaikan harga barang-barang kebutuhan
masyarakat setelah terjadi kenaikan harga beberapa jenis BBM seperti premium
(bensin pompa), solar, dan minyak tanah dari waktu ke waktu relatif sama.
Misalnya, dengan naiknya premium sebagai bahan bakar transportasi akan
menyebabkan naiknya tarif angkutan. Dengan kenaikan tarif angkutan tersebut
maka akan mendorong kenaikan harga barang-barang yang banyak menggunakan jasa
transportasi tersebut dalam distribusi barangnya ke pasar. Demikian pula dengan
harga solar yang mengalami kenaikan juga akan menyebabkan kenaikan harga
barang/jasa yang dalam proses produksinya menggunakan solar sebagai sumber
energinya.
Begitu seterusnya, efek menjalar (contagion effect)
kenaikan harga BBM terus mendongkrak biaya produksi dan operasional seluruh
jenis barang yang menggunakan BBM sebagai salah satu input produksinya yang
pada akhirnya beban produksi tersebut dialihkan ke harga produk yang
dihasilkannya. Kenaikan harga beberapa jenis BBM ini akan menyebabkan kenaikan
harga di berbagai level harga, seperti harga barang di tingkat produsen,
distributor/pedagang besar sampai pada akhirnya di tingkat pedagang eceran.
Gerakan kenaikan harga dari satu level harga ke level harga berikutnya dalam
suatu saluran perdagangan (distribution channel) adakalanya memerlukan waktu
(time lag). Tetapi, yang jelas muara dari akibat kenaikan harga BBM ini adalah
konsumen akhir yang notabene adalah berasal dari kebanyakan masyarakat ekonomi
lemah yang membutuhkan barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari dengan membeli
barang-barang kebutuhannya sebagian besar dari pedagang eceran. Dan biasanya
kenaikan harga di tingkat eceran (retail price) ini lebih besar
dibandingkan dengan kenaikan harga di tingkat harga produsen (producer price)
maupun di tingkat pedagang besar (wholesale price).
Kenaikan harga beberapa jenis BBM bulan Mei 1998,
terulang kembali di bulan Juni 2001 dengan beberapa skenario kenaikan harga
beberapa jenis BBM (premium, solar, minyak tanah). Menurut salah satu sumber di
Badan Pusat Statistik, untuk jenis barang BBM yang harganya ditentukan
pemerintah, hampir 50 persen dari pengaruh kenaikan BBM sudah dihitung dalam
penghitungan inflasi Misalnya bensin naik dari Rp 1.150/liter menjadi Rp
1.450/liter. Karena kenaikan BBM terjadi di bulan Juni, nilai yang digunakan
dalam penghitungan inflasi bulan Juni adalah ((1150 + 1450)/2) = 1300 sehingga
perubahan yang digunakan adalah perubahan dari harga Rp 1.150/liter menjadi Rp
1.300/liter atau naik 13,04 persen. Sementara untuk, perubahan harga yang
dihitung adalah dari harga bensin Rp 1.300/liter menjadi Rp 1.450/ liter atau
naik 11,54 persen. Perlakuan ini juga berlaku untuk jenis barang BBM lainnya.
Dengan demikian, , sumbangan inflasi dari BBM (bensin,
solar, dan minyak tanah) akan mencapai 0,28 persen. Ditambah lagi sumbangan
inflasi pelumas/oli yang apabila naik 15 persen akan memberikan sumbangan
inflasi sebesar 0,05 persen. Sumbangan inflasi dari BBM akan bertambah besar
jika komponen BBM lainnya yang tidak ditetapkan pemerintah bergerak sesuai
selera pasar. Tekanan inflasi akan semakin besar apabila pemerintah menaikkan
tarif dasar listrik rata-rata.
Dampak ini hanya sebagian kecil saja yang terjangkau dari
pandangan kita. Justru dampak tak langsung yang merupakan hasil multiplier
effect dapat menyeret tingkat inflasi lebih tinggi lagi.
Inflasi bulan Juni 2001 sebesar 1,67 persen dan laju
inflasi dari Januari-Juni 2001 sudah mencapai 5,46 persen, dengan adanya
kenaikan harga BBM sepertinya pemerintah harus merevisi asumsi inflasi APBN
tahun 2001 yang hanya berkisar 9,3 persen menjadi inflasi dua digit.
Sebab, setelah bulan Juli tahun ini, masih banyak faktor
pemicu inflasi lain seperti peristiwa SI MPR dan faktor musiman seperti Lebaran
dan Natal yang akan mendongkrak tingkat inflasi lebih tinggi lagi.
BAB III
PENYAJIAN DATA DAN PEMECAHAN MASALAH
1.
Penyajian data
Sepertinya rakyat harus menarik napas dalam-dalam menahan
impitan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang tinggi setelah kenaikan harga
bahan bakar minyak (BBM). Kenaikan BBM ini telah menggenjot tingkat inflasi menjadi
1,67 persen. Dampak ini yang akan memberikan sumbangan inflasi antara 0,3-1
persen. Efek domino yang ditimbulkan pun masih menjadi pemicu kenaikan harga
lainnya. Diperkirakan inflasi tahun ini tembus dua digit. Kebijakan kenaikan
harga BBM, menjadi pemicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok lainnya. Contoh,
penjual sayur-sayuran, menaikkan harga sayur-sayurannya lantaran ongkos
transpornya dan harga sayur-sayuran dari petani sayur sudah naik. Begitu juga,
penyedia jasa angkutan, secara serentak menaikkan ongkos transpor lantaran BBM
yang digunakan sehari-harinya naik, bahkan kenaikannya melebihi dari kenaikan
BBM itu sendiri.
Penjual pakaian di pasar-pasar juga ikut menaikkan harga
dagangannya dengan alasan harga pakaian dari industri pakaiannya sudah naik.
Tak kalah serunya industri pakaian ini juga secara otomatis menaikkan harga
produknya karena biaya produksi naik lantaran ada sebagian kegiatan produksinya
menggunakan BBM dalam jumlah besar. Belum lagi nanti kalau tarif listrik naik
lantaran PLN dalam memproduksi listriknya juga menggunakan sebagian BBM.
Seluruh fenomena ini merupakan salah satu contoh akibat
“air bah” pemicu inflasi yang merupakan multiplier effect dari kenaikan BBM, karena
BBM merupakan salah satu komponen strategis dalam menggerakkan roda ekonomi
seluruh aktivitas perekonomian di negara ini.
Pada awalnya pengurangan subsidi BBM ini dimaksudkan
untuk menciptakan keadilan dalam pemberian subsidi untuk seluruh lapisan masyarakat
karena selama ini pemberian subsidi BBM hanya menguntungkan masyarakat lapisan
ekonomi kuat. Tetapi, pada akhirnya akibat kebijakan pengurangan subsidi BBM
tersebut, yang menanggung kenaikan harga BBM adalah masyarakat lapisan bawah.
Program kompensasi yang dijanjikan pemerintah untuk membantu masyarakat ekonomi
lemah akibat kenaikan BBM yang dimulai sejak bulan April 2000 tidak mengenai
sasaran pada masyarakat yang membutuhkan. Bahkan program ini telah dilansir
media massa hanya merupakan proyek bagi-bagi uang yang tidak sampai ke
sasarannya. Kurangnya perencanaan dan pengawasan penyaluran dana kompensasi
merupakan salah satu penyebab tidak berhasilnya program tersebut.
Pemerintah selama tahun 2000 – 2001 telah menaikkan harga
BBM sampai tiga kali. Kenaikan harga BBM terakhir terjadi pada tanggal 15 Juni
2001, seperti kenaikan harga premium dari harga Rp 1.150/liter di bulan April
2000 menjadi Rp 1.450/liter di bulan Juni (naik 26,1 persen), harga solar dari
Rp 600/liter menjadi Rp 900/liter (naik 50 persen), harga minyak tanah dari Rp
350/liter menjadi Rp 400/ liter (naik 14,29 persen), minyak diesel dari Rp
550/liter menjadi Rp 1.200/liter (naik 118,18 persen), dan minyak bakar dari Rp
400/liter menjadi Rp 900/liter (naik 125 persen).
Kenaikan BBM tersebut cukup memberatkan masyarakat
lapisan bawah karena dapat menimbulkan multiplier effect, mendorong kenaikan
harga jenis barang lainnya yang dalam proses produksi maupun distribusinya
menggunakan BBM.
Contoh dampak kenaikan harga BBM pada bulan April 1998
tersebut terhadap inflasi masih terasa sampai bulan Juli 1998 dengan rata-rata
inflasi setiap bulannya sebesar 6,77 persen.
Inflasi bulan Mei 1998 mencapai 5,24 persen dan pada
bulan tersebut seluruh kelompok pengeluaran konsumsi mengalami kenaikan indeks.
Kelompok pengeluaran bahan makanan mengalami kenaikan indeks sebesar 3,90
persen; kelompok pengeluaran makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau 4,00
persen; kelompok pengeluaran perumahan 4,14 persen; kelompok pengeluaran
sandang 4,53 persen; kelompok pengeluaran kesehatan 2,40 persen; kelompok
pendidikan, rekreasi dan olahraga 1,41 persen; dan kelompok pengeluaran
transportasi dan komunikasi 17,25 persen.
Tekanan inflasi masih dirasakan di bulan Juni 1998,
mencapai angka 4,64 persen, dan pada bulan tersebut seluruh kelompok
pengeluaran konsumsi juga mengalami kenaikan indeks. Hal ini masih terjadi pula
pada tingkat inflasi bulan april, yaitu sebesar 8,56 persen.
Angka inflasi sebesar 8,56 persen merupakan angka inflasi
yang sangat tinggi karena angka inflasi satu persen saja sudah merupakan
cerminan dari gelombang “air bah” dari kenaikan beberapa jenis barang yang
hampir terjadi di seluruh kota yang dihitung angka inflasinya.
Berdasarkan pola kenaikan jenis barang selama ini, angka
inflasi satu persen saja biasanya berasal dari kenaikan harga lebih dari 15
jenis barang yang terjadi serentak di hampir seluruh kota sampel penghitungan
Indeks Harga Konsumen (IHK).
Jenis barang yang sering mengalami fluktuasi harga
biasanya berasal dari kelompok bahan makanan seperti beras, daging ayam ras,
ikan segar, telur, tomat sayur, minyak goreng, dan cabai rawit. Ditambah juga
dari kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau seperti rokok, mi
kering instan, nasi lauk, ayam goreng, kue kering, dan berbagai jenis minuman.
Semua itu biasanya ikut mewarnai angka inflasi sebesar satu persen di samping
kelompok jenis barang lainnya.
2.
Pemecahan Masalah
1.
Dari sisi
konsumen
Daya beli pasti turun. Tapi ini sejenak, mungkin cuma 2
bulan. Karena pelanggan Indonesia tidak tahan untuk tidak membeli. Yang pasti
terjadi pergeseran sementara, mungkin pelanggan kelas menengah mencari produk
lebih murah namun kualitas masih bagus, tetapi pelanggan kelas bawah mencari
yang paling murah. Pelanggan kelas atas yang tidak terpengaruh.
Pelanggan sedang sensitif harga, jadi maunya harga diskon
terus. Jangan kaget, sebentar lagi banyak Promo “Harga Diskon”, “Beli 2 Gratis
1”, “Cuci Gudang”, “Harga Tidak Naik”. Psikologisnya selalu ingin mendapatkan
harga termurah. Makanya biasanya banyak yang membuang barang lama dengan event
diskon. Atau melabel dengan harga baru lalu di-diskon.
Pelanggan tetap maunya barang bagus, desain OK, model
terbaru, tetapi harga maunya murah. Nah, produsen biasanya pandai mensiasasti
situasi ini. Kita sebagai pedagang eceran, pasti masih punya peluang besar
mendapatkan model-model terbaru dengan harga terjangkau.
Tidak ada toko yang tidak menaikkan harga, sehingga
pelanggan pasti akan mendapatkan harga naik pada semua pedagang eceran.
Artinya, potensi pelanggan pindah toko juga kecil. Jadi jangan takut kehilangan
pelanggan. Membuat hati pelanggan lebih nyaman membeli dari kita lebih penting
saat ini.
Saatnya menambah produk yang terjangkau. Ini hanya
sebagai pancingan saja, supaya pelanggan merasa dapat membeli produk di toko
kita. Padahal setelah melihat produk murah, biasanya tidak puas dengan kualitas
produknya, ujung-ujungnya masih ingin beli yang agak mahal tapi bagus.
Yang kasihan adalah pelanggan yang memang benar-benar
tidak mampu beli. Namun biasanya masih tetap ada peluang beli dengan terpaksa,
yaitu pas lebaran. Untuk itu, penjual wajib menyediakan barang-barang lama atau
yang tidak laku dengan harga super murah.
2.
Dari sisi
produsen
Dari sisi produsen, yang pasti produksi tidak mungkin
tutup. Produsen otomatis juga tidak langsung menaikkan harga, apalagi mempunyai
stok lama bahan produksi. Produsen juga takut menaikkan harga, takut
produksinya tidak terserap pasar. Jadi tidak mungkin semena-mena menaikkan harga.
Produsen pasti makin kreatif, mencoba memberikan nilai
tambah produk dari aspek yang tidak menjadikan harga naik, seperti aspek
desain, model dan aplikasi yang menarik. Karena mereka tahu, sebisa mungkin
masih harus menyajikan produk yang terjangkau.
Produsen juga hati-hati dalam mengkomunikasikan harga ke
pengecer. Produsen juga ingin membangun pengertian bersama, bahwa produsen dan
pengecer harus bisa saling memahami dampak kenaikan harga.
Demikian juga pedagang bahan produksi, selama harga
pabrik tidak naik, harga bahan juga cenderung tetap. Kalaupun naik pasti
perlahan dan bertahap. Sektor hulu cenderung menaikkan harga bertahap.
BAB IV
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Kenaikan harga BBM selalu disertai dengan kenaikan
harga-harga kebutuhan yang lain, karena BBM merupakan faktor bahan baku yang
utama bagi sektor industri. Sehingga dampak kenaikan harga BBM pasti akan
sangat dirasakan oleh masyarakat luas, khususnya masyarakat kecil.
Untuk menyiasati kenaikan harga BBM bagi para produsen
adalah dengan cara makin kreatif, mencoba memberikan nilai tambah produk dari
aspek yang tidak menjadikan harga naik, seperti aspek desain, model dan
aplikasi yang menarik. Hal ini perlu dilakukan agar harga produk tidak ikut
naik terlalu tinggi.
Perkembangan kreatifitas dari setiap individu sangat
diperlukan untuk menekan dampak kenaikan harga BBM. Meminimalisir kebutuhan
akan BBM adalah kunci utama yang harus dipegang oleh setiap individu untuk
melakukan suatu usaha.
2.
Saran
Diharapkan agar pemerintah pada saat-saat selanjutnya
dapat menjadikan kenaikan harga BBM sebagai alternatif terakhir untuk menghemat
anggaran belanja negara. Karena dampak yang ditimbulkannya akan sangat luas.
DAFTAR PUSTAKA
Eksplorasi Politik Kebijakan
Subsidi Harga BBM Pemerintahan SBY-JK. Jakarta: Cipta
Raya.
Jawa Pos
Online,. Mensiasati Dampak Kenaikan BBM Bagi Pengusaha Kecil.
Majalah
Trend Data.
Mulyono, Rubrik
Pembaca Menulis, Kompas Cybermedia
Sumber
Internet :
http://kolom.pacific.net.id/ind/lain-lain/mohamad_ikhsan/kenaikan_harga_bbm_dan_
kemiskinan:_tanggapan_atas_tanggapan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar