Senin, 11 Juni 2012

Tulisan 2

DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM PADA KONDISI MASYARAKAT KECIL DI INDONESIA



MAKALAH PEREKONOMIAN INDONESIA
TULISAN 2
DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM PADA KONDISI MASYARAKAT KECIL DI INDONESIA
KELOMPOK II

NAMA ANGGOTA :
Annisa Silva Ulum         20211976
Cindy Cinthya M.S       29211134
Nursella S.                     25211377
Theresia Natalia            27211083
BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Masalah
Gejolak harga minyak dunia sebenarnya sudah mulai terlihat sejak tahun 2000. Tiga tahun berikutnya harga terus naik seiring dengan menurunnya kapasitas cadangan. Ada sejumlah faktor penyebab terjadinya gejolak ini, salah satunya adalah persepsi terhadap rendahnya kapasitas cadangan harga minyak yang ada saat ini, yang kedua adalah naiknya permintaan (demand) dan di sisi lain terdapat kekhawatiran atas ketidakmampuan negara-negara produsen untuk meningkatkan produksi, sedangkan masalah tingkat utilisasi kilang di beberapa negara dan menurunnya persediaan bensin di Amerika Serikat juga turut berpengaruh terhadap posisi harga minyak yang terus meninggi.
Hal ini kemudian direspon oleh pemerintah di beberapa negara di dunia dengan menaikkan harga BBM. Demikian juga dengan Indonesia, DPR akhirnya menyetujui rencana pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak pada hari Selasa 27 September 2005 sebesar minimal 50%. Kebijakan kenaikan harga BBM dengan angka yang menakjubkan ini tentu saja menimbulkan dampak yang signifikan terhadap perekonomian sehingga kebijakan ini menimbulkan banyak protes dari berbagai kalangan. Keputusan pemerintah menaikkan harga bensin, solar, dan minyak tanah sejak 1 Oktober 2005 akibat kenaikan harga minyak mentah dunia hingga lebih dari 60 Dolar AS per barel dan terbatasnya keuangan pemerintah ini direspon oleh pasar dengan naiknya harga barang kebutuhan masyarakat yang lain. Biaya produksi menjadi tinggi, harga barang kebutuhan masyarakat semakin mahal sehingga daya beli masyarakat semakin menurun. Secara makro cadangan devisa negara banyak dihabiskan oleh Pertamina untuk mengimpor minyak mentah. Tingginya permintaan valas Pertamina ini, juga menjadi salah satu penyebab terdepresinya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
Terjadinya hubungan timbal balik antara naiknya biaya produksi dan turunnya daya beli masyarakat berarti memperlemah perputaran roda ekonomi secara keseluruhan di Indonesia. Kondisi ini dapat mempengaruhi iklim investasi secara keseluruhan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek naiknya harga BBM tersebut disikapi oleh pelaku pasar, khususnya pelaku pasar modal sebagai pusat perputaran dan indikator investasi.
Kontroversi kenaikan harga minyak ini bermula dari tujuan pemerintah untuk menyeimbangkan biaya ekonomi dari BBM dengan perekonomian global. Meskipun perekonomian Indonesia masih terseok mengikuti perkembangan perekonomian dunia, akhirnya kebijakan kenaikan BBM tetap dilaksanakan mulai tanggal 1 Oktober 2005. Akibatnya, perilaku investasi di Indonesia sangat memungkinkan mengalami perubahan. Setiap peristiwa berskala nasional apalagi yang terkait langsung dengan permasalahan ekonomi dan bisnis menimbulkan reaksi para pelaku pasar modal yang dapat berupa respon positif atau respon negatif tergantung pada apakah peristiwa tersebut memberikan stimulus positif atau negatif terhadap iklim investasi. Berdasarkan pada argumentasi di atas, maka dimungkinkan akan terjadi reaksi negatif para pelaku pasar modal setelah pengumuman tersebut. Tetapi jika yang terjadi sebaliknya bahwa kenaikan harga BBM ini direaksi positif oleh pelaku pasar, maka kesimpulan sederhana dari dampak peristiwa pengumuman tersebut adalah bahwa naiknya harga BBM memberikan stimulus positif pada perekonomian Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis ingin mengulas lebih dalam lagi dengan makalah yang berjudul, “Dampak Kenaikan Harga BBM Terhadap Masyarakat Kecil”.
2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1.      Apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara kondisi masyarakat kecil di Indonesia sebelum dan sesudah peristiwa kenaikan harga BBM ?
2.      Bagaimana menanggulangi dampak kenaikan harga BBM pada kondisi masyarakat kecil di Indonesia ?
3.      Tujuan dan Manfaat
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dan manfaat penulisan adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara kondisi masyarakat kecil di Indonesia sebelum dan sesudah peristiwa kenaikan harga BBM.
2.      Untuk mengetahui bagaimana menanggulangi dampak kenaikan harga BBM pada kondisi masyarakat kecil di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
1.      Kenaikan BBM
Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan komoditas yang memegang peranan sangat vital dalam semua aktifitas ekonomi. Dampak langsung perubahan harga minyak ini adalah perubahan-perubahan biaya operasional yang mengakibatkan tingkat keuntungan kegiatan investasi langsung terkoreksi. Secara sederhana tujuan investasi adalah untuk maksimisasi kemakmuran melalui maksimisasi keuntungan, dan investor selalu berusaha mananamkan dana pada investasi portofolio yang efisien dan relatif aman.
Kenaikan harga BBM bukan saja memperbesar beban masyarakat kecil pada umumnya tetapi juga bagi dunia usaha pada khususnya. Hal ini dikarenakan terjadi kenaikan pada pos-pos biaya produksi sehingga meningkatkan biaya secara keseluruhan dan mengakibatkan kenaikan harga pokok produksi yang akhirnya akan menaikkan harga jual produk. Multiple efek dari kenaikan BBM ini antara lain meningkatkan biaya overhead pabrik karena naiknya biaya bahan baku, ongkos angkut ditambah pula tuntutan dari karyawan untuk menaikkan upah yang pada akhirnya keuntungan perusahaan menjadi semakin kecil. Di lain pihak dengan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak tersebut akan memperberat beban hidup masyarakat yang pada akhirnya akan menurunkan daya beli masyarakat secara keseluruhan. Turunnya daya beli masyarakat mengakibatkan tidak terserapnya semua hasil produksi banyak perusahaan sehingga secara keseluruhan akan menurunkan penjualan yang pada akhirnya juga akan menurunkan laba perusahaan.
B. Politik Harga BBM
Pada masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, telah terjadi dua kali pencabutan subsidi BBM. Yang pertama adalah tanggal 1 Maret 2006 dan yang kedua dilakukan pada 1 Oktober 2006. Kebijakan pencabutan Subsidi BBM ini sebenarnya merupakan kebijakan yng bersifat inkramental. Sudah dilakukan sejak tahun 1998, dalam rangka memperbaiki kinerja anggaran, efisiensi dan menyesuaikan dengan harga minyak dunia, pencabutan subsidi BBM dilakukan.
Dalam hal ini Pembangunan Pemerintah memakai strategi efficiency oriented policies of market competition, yaitu strategi yang menekankan pada pentingnya efisiensi, pro pasar bebas, pro globalisasi, dan peran negara yang kecil. Tunduk pada kekuatan pasar energi global yang memiliki kecenderungan harga yang terus meningkat. Hal ini menjadi berbeda dengan orientasi pembangunan yang dinyatakan oleh Pemeritah SBY-JK pada masa kampanyenya yang pro poor atau menurut Susan Stoke security oriented policies of state intervention, dimana pemerintah seharusnya melakukan proteksi harga untuk kepentingan nasional.
Saat pencabutan BBM terjadi, pemerintah dihadapkan pada situasi krisis anggaran di satu sisi dan di sisi lain naiknya harga minyak dunia. Sehingga benar apa yang dinyatakan oleh Meriless S. Gridle dan John W. Thomas, Dalam situasi krisis, persoalan kerapkali berasal dari luar pengambil kebijakan (nasional dan internasional), dalam sistuasi nasional dihadapkan pada keterbatasan anggaran, serta prioritas pemerintah untuk program pengentasan kemiskinan dan program pembangunan lain . Sedang persoalan internasional terkait dengan harga pasar energi global yang naik dan memiliki kecendrungan untuk tetap naik serta terikatnya dengan LOI IMF sebagai negara yang menggunakan utang luar negeri untuk pembangunan negara. Salah satu butir perjanjian mengharuskan pemerintah untuk melakukan penyesuaian harga minyak nasional dengan harga minyak dunia
Kebijakan Pencabutan Subsidi BBM era Yudhoyono menjadi fenomenal karena baru pertama kalinya sebuah kebijakan didukung oleh sejumlah intelektual, profesional, dan aktivis serta mengiklankannya pada media cetak satu halaman penuh. Hal ini juga menjadi baru ketika pemerintah mengaitkan langsung penarikan subsidi BBM dengan program pengentasan kemiskinan secara terang-terangan. Iklan yang dibuat oleh Freedom Institute atas penelitian yang dilakukan oleh LPEM-FEUI bahwa subsidi BBM lebih menguntungkan mereka yang relatif mampu, dan yang paling miskin justru kurang menikamatinya sehingga dengan pencabutan subsidi dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pemerintah dalam hal ini, sejalan dengan kebijakan penghapusan subsidi, karena pemerintah melihat bahwa selama ini hanya menguntungkan mereka yang relatif kaya daripada kaum miskin.
Pemerintah membuat kebijakan dengan melakukan subsidi terarah, yang salah satunya adalah BLT (Bantuan Langsung Tunai) untukjangka pendek, P3 (Program Pengembangan Prasarana) untuk jangka menengah, dan PAP (Peningkatan Anggaran Pemerintah) untuk pembangunan ekonomi jangka panjang.
Dengan skenario ini Pemerintah mengaitkan pencabutan subsidi BBM dalam rangka pengentasan kemiskinan. Sehingga kondisi ini adalah kondisi yang paling optimal untuk pendapatan kaum miskin menurut perhitungan yang juga dinyatakan oleh Kepala Bappenas Sri Mulyani dan disertasi Djoko Harianto. Perlu diakui argumen yang dilakukan pemerintah dengan perhitungan ekonomi ini sangat logis (masuk akal) . Dalam kenyataannya, kebijakan ini menimbulkann polemik di masyarakat dan kaum intelektual. Sebagian kalangan seperti Ekonom TIB (Tim Indonesia Bangkit), Ahli pertambangan dari Pertamina Kurtubi, Effendi Gazali, hingga Prof. Sri Edi menentang kebijakan kenaikan BBM yang dilakukan Pemerintah. Kebijakan ini dinilai oleh mereka justru menciptakan kemiskinan baru. Kenaikan harga BBM secara psikologis membawa dampak kenaikan pada barang-barang dan jasa akibatnya daya beli masyarakat menjadi rendah, serta menciptakan pengangguran baru.
Dari sini banyak relawan yang bisa dilihat adalah kebijakan pemerintah yang hanya berdasarkan perhitungan ekonomi secara teoritis tanpa memperhitungkan dampak psikologi masyarakat serta daya tahan masyarakat akan membawa akibat kebijakan ini tidak membawa kesejahteraan masyarakat melainkan menimbulkan dampak yang negatif yakni meningkatnya jumlah kemiskinan di masyarakat. Target pemerintah untuk menciptakan kesejahteraan dengan kebijakan ini tidak tercapai. Efisiensi yang terjadi tidak signifikan, bahkan ketersediaan bahan bakar terutama minyak tanah pada bulan Desember tidak tercukupi. Kini minyak tanah langka lagi dan rakyat kecil harus membeli dengan harga yang lebih tinggi dari apa yang ditetapkan.
3.      Kenaikan BBM Menyebabkan Inflasi
Dengan mengacu pada inflasi kumulatif Januari-September 2005 sebesar 9,1 persen, inflasi bulan Oktober sebesar 8,7 persen tentu saja tergolong luar biasa sehingga membuat inflasi kumulatif Januari-Oktober menjadi 15,6 persen. Inflasi Oktober berdasarkan perhitungan "tahun ke tahun" (year on year) lebih tinggi lagi, yakni 17,9 persen. Berdasarkan angka-angka itu, laju inflasi tahun 2005 diperkirakan berkisar 16-18 persen atau titik tengahnya adalah 17 persen.
Di awal kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), seorang menteri ekonomi menegaskan bisa menahan di sekitar 10 persen. Lalu beberapa hari kemudian dikoreksi menjadi kira-kira 12 persen, selanjutnya kembali dikoreksi menjadi 14 persen. Kali ini dan untuk ke sekian kalinya pemerintah salah langkah. Hitung-hitungan pemerintah jelas keliru dan menyederhanakan masalah.
Memang disadari bahwa besarnya disparitas harga BBM di dalam dan luar negeri menimbulkan banyak masalah. Namun, sangat tidak realistis untuk menyelesaikan semua masalah itu sekaligus dengan hanya menggunakan satu jurus pamungkas, yakni kenaikan harga BBM sebesar 114 persen berdasarkan rata-rata tertimbang.
Padahal, kaidah Tinbergen (Tinbergen's rule) mengatakan bahwa satu instrumen kebijakan hanya bisa secara efektif menyelesaikan satu masalah saja. Memang pemerintah menggulirkan beberapa obat penawar rasa sakit dalam bentuk paket insentif bagi dunia usaha yang meliputi paket fiskal, reformasi di bidang tata niaga dan transportasi, serta kebijakan di bidang perberasan.
Pemerintah juga mengucurkan dana bantuan langsung tunai (BLT) bagi setiap keluarga miskin sebesar Rp 100.000 per bulan yang dibayarkan di muka sekaligus untuk tiga bulan. Dengan BLT ini bahkan pemerintah sangat yakin bisa menekan jumlah orang miskin—sungguh suatu perhitungan yang teramat matematik—statik yang seolah-olah menempatkan 220 juta penduduk Indonesia bagaikan mesin tanpa jiwa dan emosi di dalam laboratorium yang terisolasi.
Dengan mempertimbangkan bahwa paket insentif dan BLT sangat terbatas cakupannya dan mengingat pula belum semua terwujud, serta masalah-masalah baru yang muncul sehingga diragukan efektivitasnya, maka tohokan kenaikan harga BBM berpotensi menambah dan memperpanjang penderitaan rakyat. Tanda-tanda ke arah sana sudah semakin nyata.
Berdasarkan perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS), kenaikan harga BBM pada 1 Oktober lalu berdampak seketika terhadap peningkatan pengangguran terbuka sebanyak 426.000 pekerja. Jajaran penganggur ini niscaya akan terus bertambah panjang dalam setahun ke depan karena gelombang PHK akan terus berlanjut setelah Lebaran dan Tahun Baru nanti.
Tak seperti krisis tahun 1998 yang membuat banyak perusahaan besar—terutama yang banyak berutang dalam mata uang asing, memiliki kandungan impor yang besar, dan berorientasi pada pasar dalam negeri—terempas, sementara usaha kecil dan menengah (UKM) dan atau sektor informal justru mampu bertahan, dampak kenaikan harga BBM kali ini lebih berat dirasakan oleh UKM dan bersifat seketika. Padahal, UKM inilah yang menjadi penyerap tenaga kerja terbesar.
Usaha berskala menengah-besar diperkirakan mulai mengalami tekanan serius pada tahap selanjutnya. Salah satu penyebab utamanya ialah kenaikan tajam suku bunga pinjaman. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari keniscayaan Bank Indonesia untuk terus-menerus meredam instabilitas makro-ekonomi. Pada hari yang bersamaan dengan pengumuman angka inflasi oleh BPS, Bank Indonesia menaikkan BI Rate sebesar 125 basis poin menjadi 12,25 persen. Inilah kenaikan BI Rate tertinggi sejak diperkenalkan untuk pertama kalinya pada 5 Juli tahun ini.
Karena negeri kita tergolong sebagai small open-economy yang menerapkan rezim devisa bebas, sehingga membawa konsekuensi untuk menjaga interest rate differential dengan luar negeri, maka hampir bisa dipastikan bahwa Bank Indonesia akan terus menaikkan BI Rate.
Jika ekspektasi masyarakat terhadap inflasi "manteng" pada angka 17 persen, maka suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) bertenor satu bulan hingga Desember akan bergerak cepat ke tingkat 15 persen. Jika pada angka ini posisi rupiah terus mengalami tekanan "berat", maka boleh jadi suku bunga SBI akan terus dinaikkan. Berdasarkan pengalaman dua tahun terakhir saja, serta dengan mengambil selisih rata-rata suku bunga SBI bertenor satu bulan dan angka inflasi yang amat konservatif sebesar 1-1,5 persen, maka suku bunga SBI berpotensi terus naik mendekati 20 persen.
Kenaikan suku bunga bisa diredam asalkan pergerakan nilai tukar rupiah agak dibiarkan fleksibel. Karena, kiranya amat sulit mencapai target suku bunga rendah dan rupiah kuat bersamaan. Pilihan pahit ini harus dipilih mau yang paling sedikit biayanya bagi perekonomian atau yang mana.
Bagaimana jika kurs yang dibiarkan mengambang akan mengarah pada destabilizing speculation? Pilihan ekstrem kalau memang suku bunga tinggi lebih memukul perekonomian ialah mem-peg nilai rupiah. Sekalipun opsi ini sangat ditentang oleh penganut aliran ekonomi mainstream, tak ada salahnya untuk mulai menghitung-hitung untung-rugi dan prakondisi yang harus terpenuhi. Paling tidak pemberlakuannya bersifat darurat dan sangat sementara.
Tantangan jangka pendek ini harus dihadapi dengan sangat hati-hati. Segala tindakan pemerintah harus betul-betul terukur. Kesalahan kecil saja bisa berakibat fatal. Secara teknis, kenaikan harga BBM tak mungkin lagi dikoreksi karena dampak terhadap kenaikan harga-harga boleh dikatakan sudah terjadi penuh.
Akibat kenaikan harga BBM yang tak kepalang, pekerjaan rumah pemerintah bukannya berkurang, malahan bertambah banyak dan lebih pelik serta lebih berisiko. Investor asing dan lembaga-lembaga internasional memuji langkah berani pemerintah. Para kreditor mengamini karena terang saja mereka merasa lebih nyaman jika APBN lebih banyak dialokasikan untuk pembayaran bunga dan cicilan utang. Jadi, apa bedanya antara memberi subsidi kepada rakyat dan membayar suku bunga lebih tinggi kepada kreditor asing?
Kita berharap pemerintah lebih peka pada derita rakyatnya sendiri. Kepentingan nasional harus di atas segala-galanya. Kita harus berdaulat secara politik dan ekonomi. Keadilan harus jadi acuannya. Banyak pilihan kebijakan yang masih tersedia untuk mewujudkannya asalkan kita mau mengubah pola pikir kita yang selama ini terlalu dibelenggu oleh setting perekonomian negara maju yang kelembagaannya sudah sedemikian sangat lengkap, dan tidak korup.
4.      Dampak Kenaikan BBM Pada Masyarakat Kecil
Walaupun dampak kenaikan harga BBM tersebut sulit dihitung dalam gerakan kenaikan inflasi, tetapi dapat dirasakan dampak psikologisnya yang relatif kuat. Dampak ini dapat menimbulkan suatu ekspektasi inflasi dari masyarakat yang dapat mempengaruhi kenaikan harga berbagai jenis barang/jasa. Ekspektasi inflasi ini muncul karena pelaku pasar terutama pedagang eceran ikut terpengaruh dengan kenaikan harga BBM dengan cara menaikkan harga barang-barang dagangannya. Dan biasanya kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok masyarakat terjadi ketika isu kenaikan harga BBM mulai terdengar.
Perilaku kenaikan harga barang-barang kebutuhan masyarakat setelah terjadi kenaikan harga beberapa jenis BBM seperti premium (bensin pompa), solar, dan minyak tanah dari waktu ke waktu relatif sama. Misalnya, dengan naiknya premium sebagai bahan bakar transportasi akan menyebabkan naiknya tarif angkutan. Dengan kenaikan tarif angkutan tersebut maka akan mendorong kenaikan harga barang-barang yang banyak menggunakan jasa transportasi tersebut dalam distribusi barangnya ke pasar. Demikian pula dengan harga solar yang mengalami kenaikan juga akan menyebabkan kenaikan harga barang/jasa yang dalam proses produksinya menggunakan solar sebagai sumber energinya.
Begitu seterusnya, efek menjalar (contagion effect) kenaikan harga BBM terus mendongkrak biaya produksi dan operasional seluruh jenis barang yang menggunakan BBM sebagai salah satu input produksinya yang pada akhirnya beban produksi tersebut dialihkan ke harga produk yang dihasilkannya. Kenaikan harga beberapa jenis BBM ini akan menyebabkan kenaikan harga di berbagai level harga, seperti harga barang di tingkat produsen, distributor/pedagang besar sampai pada akhirnya di tingkat pedagang eceran. Gerakan kenaikan harga dari satu level harga ke level harga berikutnya dalam suatu saluran perdagangan (distribution channel) adakalanya memerlukan waktu (time lag). Tetapi, yang jelas muara dari akibat kenaikan harga BBM ini adalah konsumen akhir yang notabene adalah berasal dari kebanyakan masyarakat ekonomi lemah yang membutuhkan barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari dengan membeli barang-barang kebutuhannya sebagian besar dari pedagang eceran. Dan biasanya kenaikan harga di tingkat eceran (retail price) ini lebih besar dibandingkan dengan kenaikan harga di tingkat harga produsen (producer price) maupun di tingkat pedagang besar (wholesale price).
Kenaikan harga beberapa jenis BBM bulan Mei 1998, terulang kembali di bulan Juni 2001 dengan beberapa skenario kenaikan harga beberapa jenis BBM (premium, solar, minyak tanah). Menurut salah satu sumber di Badan Pusat Statistik, untuk jenis barang BBM yang harganya ditentukan pemerintah, hampir 50 persen dari pengaruh kenaikan BBM sudah dihitung dalam penghitungan inflasi Misalnya bensin naik dari Rp 1.150/liter menjadi Rp 1.450/liter. Karena kenaikan BBM terjadi di bulan Juni, nilai yang digunakan dalam penghitungan inflasi bulan Juni adalah ((1150 + 1450)/2) = 1300 sehingga perubahan yang digunakan adalah perubahan dari harga Rp 1.150/liter menjadi Rp 1.300/liter atau naik 13,04 persen. Sementara untuk, perubahan harga yang dihitung adalah dari harga bensin Rp 1.300/liter menjadi Rp 1.450/ liter atau naik 11,54 persen. Perlakuan ini juga berlaku untuk jenis barang BBM lainnya.
Dengan demikian, , sumbangan inflasi dari BBM (bensin, solar, dan minyak tanah) akan mencapai 0,28 persen. Ditambah lagi sumbangan inflasi pelumas/oli yang apabila naik 15 persen akan memberikan sumbangan inflasi sebesar 0,05 persen. Sumbangan inflasi dari BBM akan bertambah besar jika komponen BBM lainnya yang tidak ditetapkan pemerintah bergerak sesuai selera pasar. Tekanan inflasi akan semakin besar apabila pemerintah menaikkan tarif dasar listrik rata-rata.
Dampak ini hanya sebagian kecil saja yang terjangkau dari pandangan kita. Justru dampak tak langsung yang merupakan hasil multiplier effect dapat menyeret tingkat inflasi lebih tinggi lagi.
Inflasi bulan Juni 2001 sebesar 1,67 persen dan laju inflasi dari Januari-Juni 2001 sudah mencapai 5,46 persen, dengan adanya kenaikan harga BBM sepertinya pemerintah harus merevisi asumsi inflasi APBN tahun 2001 yang hanya berkisar 9,3 persen menjadi inflasi dua digit.
Sebab, setelah bulan Juli tahun ini, masih banyak faktor pemicu inflasi lain seperti peristiwa SI MPR dan faktor musiman seperti Lebaran dan Natal yang akan mendongkrak tingkat inflasi lebih tinggi lagi.
BAB III
PENYAJIAN DATA DAN PEMECAHAN MASALAH
1.      Penyajian data
Sepertinya rakyat harus menarik napas dalam-dalam menahan impitan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang tinggi setelah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Kenaikan BBM ini telah menggenjot tingkat inflasi menjadi 1,67 persen. Dampak ini yang akan memberikan sumbangan inflasi antara 0,3-1 persen. Efek domino yang ditimbulkan pun masih menjadi pemicu kenaikan harga lainnya. Diperkirakan inflasi tahun ini tembus dua digit. Kebijakan kenaikan harga BBM, menjadi pemicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok lainnya. Contoh, penjual sayur-sayuran, menaikkan harga sayur-sayurannya lantaran ongkos transpornya dan harga sayur-sayuran dari petani sayur sudah naik. Begitu juga, penyedia jasa angkutan, secara serentak menaikkan ongkos transpor lantaran BBM yang digunakan sehari-harinya naik, bahkan kenaikannya melebihi dari kenaikan BBM itu sendiri.
Penjual pakaian di pasar-pasar juga ikut menaikkan harga dagangannya dengan alasan harga pakaian dari industri pakaiannya sudah naik. Tak kalah serunya industri pakaian ini juga secara otomatis menaikkan harga produknya karena biaya produksi naik lantaran ada sebagian kegiatan produksinya menggunakan BBM dalam jumlah besar. Belum lagi nanti kalau tarif listrik naik lantaran PLN dalam memproduksi listriknya juga menggunakan sebagian BBM.
Seluruh fenomena ini merupakan salah satu contoh akibat “air bah” pemicu inflasi yang merupakan multiplier effect dari kenaikan BBM, karena BBM merupakan salah satu komponen strategis dalam menggerakkan roda ekonomi seluruh aktivitas perekonomian di negara ini.
Pada awalnya pengurangan subsidi BBM ini dimaksudkan untuk menciptakan keadilan dalam pemberian subsidi untuk seluruh lapisan masyarakat karena selama ini pemberian subsidi BBM hanya menguntungkan masyarakat lapisan ekonomi kuat. Tetapi, pada akhirnya akibat kebijakan pengurangan subsidi BBM tersebut, yang menanggung kenaikan harga BBM adalah masyarakat lapisan bawah. Program kompensasi yang dijanjikan pemerintah untuk membantu masyarakat ekonomi lemah akibat kenaikan BBM yang dimulai sejak bulan April 2000 tidak mengenai sasaran pada masyarakat yang membutuhkan. Bahkan program ini telah dilansir media massa hanya merupakan proyek bagi-bagi uang yang tidak sampai ke sasarannya. Kurangnya perencanaan dan pengawasan penyaluran dana kompensasi merupakan salah satu penyebab tidak berhasilnya program tersebut.
Pemerintah selama tahun 2000 – 2001 telah menaikkan harga BBM sampai tiga kali. Kenaikan harga BBM terakhir terjadi pada tanggal 15 Juni 2001, seperti kenaikan harga premium dari harga Rp 1.150/liter di bulan April 2000 menjadi Rp 1.450/liter di bulan Juni (naik 26,1 persen), harga solar dari Rp 600/liter menjadi Rp 900/liter (naik 50 persen), harga minyak tanah dari Rp 350/liter menjadi Rp 400/ liter (naik 14,29 persen), minyak diesel dari Rp 550/liter menjadi Rp 1.200/liter (naik 118,18 persen), dan minyak bakar dari Rp 400/liter menjadi Rp 900/liter (naik 125 persen).
Kenaikan BBM tersebut cukup memberatkan masyarakat lapisan bawah karena dapat menimbulkan multiplier effect, mendorong kenaikan harga jenis barang lainnya yang dalam proses produksi maupun distribusinya menggunakan BBM.
Contoh dampak kenaikan harga BBM pada bulan April 1998 tersebut terhadap inflasi masih terasa sampai bulan Juli 1998 dengan rata-rata inflasi setiap bulannya sebesar 6,77 persen.
Inflasi bulan Mei 1998 mencapai 5,24 persen dan pada bulan tersebut seluruh kelompok pengeluaran konsumsi mengalami kenaikan indeks. Kelompok pengeluaran bahan makanan mengalami kenaikan indeks sebesar 3,90 persen; kelompok pengeluaran makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau 4,00 persen; kelompok pengeluaran perumahan 4,14 persen; kelompok pengeluaran sandang 4,53 persen; kelompok pengeluaran kesehatan 2,40 persen; kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga 1,41 persen; dan kelompok pengeluaran transportasi dan komunikasi 17,25 persen.
Tekanan inflasi masih dirasakan di bulan Juni 1998, mencapai angka 4,64 persen, dan pada bulan tersebut seluruh kelompok pengeluaran konsumsi juga mengalami kenaikan indeks. Hal ini masih terjadi pula pada tingkat inflasi bulan april, yaitu sebesar 8,56 persen.
Angka inflasi sebesar 8,56 persen merupakan angka inflasi yang sangat tinggi karena angka inflasi satu persen saja sudah merupakan cerminan dari gelombang “air bah” dari kenaikan beberapa jenis barang yang hampir terjadi di seluruh kota yang dihitung angka inflasinya.
Berdasarkan pola kenaikan jenis barang selama ini, angka inflasi satu persen saja biasanya berasal dari kenaikan harga lebih dari 15 jenis barang yang terjadi serentak di hampir seluruh kota sampel penghitungan Indeks Harga Konsumen (IHK).
Jenis barang yang sering mengalami fluktuasi harga biasanya berasal dari kelompok bahan makanan seperti beras, daging ayam ras, ikan segar, telur, tomat sayur, minyak goreng, dan cabai rawit. Ditambah juga dari kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau seperti rokok, mi kering instan, nasi lauk, ayam goreng, kue kering, dan berbagai jenis minuman. Semua itu biasanya ikut mewarnai angka inflasi sebesar satu persen di samping kelompok jenis barang lainnya.
2.      Pemecahan Masalah
1.      Dari sisi konsumen
Daya beli pasti turun. Tapi ini sejenak, mungkin cuma 2 bulan. Karena pelanggan Indonesia tidak tahan untuk tidak membeli. Yang pasti terjadi pergeseran sementara, mungkin pelanggan kelas menengah mencari produk lebih murah namun kualitas masih bagus, tetapi pelanggan kelas bawah mencari yang paling murah. Pelanggan kelas atas yang tidak terpengaruh.
Pelanggan sedang sensitif harga, jadi maunya harga diskon terus. Jangan kaget, sebentar lagi banyak Promo “Harga Diskon”, “Beli 2 Gratis 1”, “Cuci Gudang”, “Harga Tidak Naik”. Psikologisnya selalu ingin mendapatkan harga termurah. Makanya biasanya banyak yang membuang barang lama dengan event diskon. Atau melabel dengan harga baru lalu di-diskon.
Pelanggan tetap maunya barang bagus, desain OK, model terbaru, tetapi harga maunya murah. Nah, produsen biasanya pandai mensiasasti situasi ini. Kita sebagai pedagang eceran, pasti masih punya peluang besar mendapatkan model-model terbaru dengan harga terjangkau.
Tidak ada toko yang tidak menaikkan harga, sehingga pelanggan pasti akan mendapatkan harga naik pada semua pedagang eceran. Artinya, potensi pelanggan pindah toko juga kecil. Jadi jangan takut kehilangan pelanggan. Membuat hati pelanggan lebih nyaman membeli dari kita lebih penting saat ini.
Saatnya menambah produk yang terjangkau. Ini hanya sebagai pancingan saja, supaya pelanggan merasa dapat membeli produk di toko kita. Padahal setelah melihat produk murah, biasanya tidak puas dengan kualitas produknya, ujung-ujungnya masih ingin beli yang agak mahal tapi bagus.
Yang kasihan adalah pelanggan yang memang benar-benar tidak mampu beli. Namun biasanya masih tetap ada peluang beli dengan terpaksa, yaitu pas lebaran. Untuk itu, penjual wajib menyediakan barang-barang lama atau yang tidak laku dengan harga super murah.
2.      Dari sisi produsen
Dari sisi produsen, yang pasti produksi tidak mungkin tutup. Produsen otomatis juga tidak langsung menaikkan harga, apalagi mempunyai stok lama bahan produksi. Produsen juga takut menaikkan harga, takut produksinya tidak terserap pasar. Jadi tidak mungkin semena-mena menaikkan harga.
Produsen pasti makin kreatif, mencoba memberikan nilai tambah produk dari aspek yang tidak menjadikan harga naik, seperti aspek desain, model dan aplikasi yang menarik. Karena mereka tahu, sebisa mungkin masih harus menyajikan produk yang terjangkau.
Produsen juga hati-hati dalam mengkomunikasikan harga ke pengecer. Produsen juga ingin membangun pengertian bersama, bahwa produsen dan pengecer harus bisa saling memahami dampak kenaikan harga.
Demikian juga pedagang bahan produksi, selama harga pabrik tidak naik, harga bahan juga cenderung tetap. Kalaupun naik pasti perlahan dan bertahap. Sektor hulu cenderung menaikkan harga bertahap.
BAB IV
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Kenaikan harga BBM selalu disertai dengan kenaikan harga-harga kebutuhan yang lain, karena BBM merupakan faktor bahan baku yang utama bagi sektor industri. Sehingga dampak kenaikan harga BBM pasti akan sangat dirasakan oleh masyarakat luas, khususnya masyarakat kecil.
Untuk menyiasati kenaikan harga BBM bagi para produsen adalah dengan cara makin kreatif, mencoba memberikan nilai tambah produk dari aspek yang tidak menjadikan harga naik, seperti aspek desain, model dan aplikasi yang menarik. Hal ini perlu dilakukan agar harga produk tidak ikut naik terlalu tinggi.
Perkembangan kreatifitas dari setiap individu sangat diperlukan untuk menekan dampak kenaikan harga BBM. Meminimalisir kebutuhan akan BBM adalah kunci utama yang harus dipegang oleh setiap individu untuk melakukan suatu usaha.
2.      Saran
Diharapkan agar pemerintah pada saat-saat selanjutnya dapat menjadikan kenaikan harga BBM sebagai alternatif terakhir untuk menghemat anggaran belanja negara. Karena dampak yang ditimbulkannya akan sangat luas.
DAFTAR PUSTAKA
Eksplorasi Politik Kebijakan Subsidi Harga BBM Pemerintahan SBY-JK. Jakarta: Cipta Raya.
Jawa Pos Online,. Mensiasati Dampak Kenaikan BBM Bagi Pengusaha Kecil.
Majalah Trend Data.
Mulyono, Rubrik Pembaca Menulis, Kompas Cybermedia
Sumber Internet :
http://kolom.pacific.net.id/ind/lain-lain/mohamad_ikhsan/kenaikan_harga_bbm_dan_ kemiskinan:_tanggapan_atas_tanggapan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar